A. Jarum Sejarah Pengetahuan
Pada masyarakat
primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak,
yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku
umpamanya, bisa merangkap hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan,
guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam
jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab
organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi, jika
seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli.
Jadi, kriteria
kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua
menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat
jarak yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang
satu dengan ujud yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan
fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada
pertengahan abad XVII.
Dengan
berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada
pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan,
yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah
struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak
berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa
pengetahuan itu dipergunakan.
Salah satu
cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu
yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya.
Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan
paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa
yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.
Difrensiasi
dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan
moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian
yang lebih spesifik pula.Makin ciutnya kapling masing-masing displin keilmuan
itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti
pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin banyak dan
makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam
sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing displin ilmu.
Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin keilmuan
dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang
berdifusi.
Pendekatan
interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan
otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya
masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini
adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika, matematika,
statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep
sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antar
displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi
antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan,
melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana
tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan
analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
B. Pengetahuan
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh
yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Pengetahuan
berkaitan erat dengan kebenaran, apakah pengetahuan itu benar-benar benar atau
tidak, untuk itu perlu dimengerti apa itu yang benar dan bagaimana manusia
mengetahui kebenaran.
Pengetahuan memiliki tiga fungsi yaitu
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita
meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut dapat
dilakukan upaya untuk megontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak.
Aristotales membagi kerja dasar intelektual ke dalam [1] memahami obyek, [2]
membentuk dan memilah, [3] menalar dari sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang tidak diketahui.[1] Anasir itu membentuk suatu disiplin yang ditempuh oleh
Aristoteles yang kemudian disebut “Logika”, yang oleh Aristoteles bertujuan
untuk membuat dan menguji inferensi (kesimpulan keilmuan) (Noeng Muhadjir, 1999:23)
Menurut Encyclopedia of Philosophy,
pengetahuan didefinisikan sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is
justified true belief). Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang
diketahui atauhasil pekerjaan mengetahui. Mengetahui itu hasil kenal, sadar,
insaf, mengerti, benar dan pandai. Pengetahuan itu harus benar, kalau tidak
benar maka bukan pengetahuan tetapi kekeliruan atau kontradiksi. Pengetahuan
merupakan hasil suatu proses atau pengalaman yang sadar.
Pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi
generik yang mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Dengan demikian
pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta
mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan manusia mempunyai
pengetahuan adalah:
a.
Memenuhi kebutuhan
untuk kelangsungan hidup
b.
Mengembangkan arti
kehidupan
c.
Mempertahankan
kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
d.
Mencapai tujuan hidup.
Ada
beberapa jenis Pengetahuan yaitu:
a.
Pengetahuan biasa
(common sense) yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa
mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
b.
Pengetahuan ilmiah atau
Ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk
digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui
kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c.
Pengetahuan filsafat,
adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari adalah
sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai diluar dan diatas pengalaman
biasa.
d.
Pengetahuan agama,
suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan
Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk
agama.
Pada suatu saat, manusia ingin
mengetahui sesuatu tentang dirinya, dunia sekitarnya, oranglain, yang baik dan
yang buruk, yang indah dan jelek, dan macam-macam lagi. Jika ingin mengetahui
sesuatu, tentu ada suatu dorongan dari dalam diri manusia yang mengajukan pertanyaan
yang perlu jawaban yang memuaskan keingintahuannya. Dorongan itu disebut rasa
ingin mengetahui.
Sesuatu
yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan yang memuaskan manusia
adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang tidak benar adalah kekeliruan.
Keliru seringkali lebih jelek dari pada tidak tahu. Pengetahuan yang keliru
dijadikan tindakan/perbuatan akan menghasilkan kekeliruan, kesalahan dan
malapetaka. Sasaran atau objek yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada,
yang mungkin ada, yang pernah ada dan sesuatu yang mengadakan. Dengan demikian
manusia dirangsang keingintahuannya oleh alam sekitarnya melalui indranya dan
pengalamannya. Hasil gejala mengetahui adalah manusia mengetahui secara sadar
bahwa dia telah mengetahui.
Dalam
hal ini penulis berpendapat bahwa Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap
apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah
ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia
di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
1. Hakekat
Pengetahuan
Ada
dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat Pengetahuan:
- Realisme,
teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan adalah
gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata.
- Idealisme,
teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental/psikologis
yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran subjektif tentang
sesuatu yang ada dalam alam menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengalami
dan mengetahuinya. Premis pokok adalah jiwa yang mempunyai kedudukan utama
dalam alam semesta.
2. Sumber
Pengetahuan
Ada
beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
- Empirisme,
menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman
(empereikos= pengalaman). Dalam hal ini harus ada 3 hal, yaitu yang
mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman).
Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704), George Barkeley (1685 -1753) dan
David Hume.
- Rasionalisme,
aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan
kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya
adalah Rene Descartes (1596 –1650, Baruch Spinoza (1632 –1677)
danGottriedLeibniz (1646 –1716).
- Intuisi.
Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui
proses pernalaran tertentu. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil
dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
- Wahyu
adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hambanya yang terpilih
untuk menyampaikannya (NabidanRosul). Melalui wahyu atau agama, manusia
diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun tidak
terjangkau oleh manusia.
C. Metode Ilmiah
Kata metode berasal bahasa Yunani yaitu
kata “methos” yang terdiri dari unsur kata berarti
cara, perjalanan sesudah, dan kata “kovos” berarti cara perjalanan, arah.
Metode merupakan kajian atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari
beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun
suatu penelitian dan kajian ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau
cara mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.
Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia
Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu
membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat
dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak
mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang
dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata
pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan
fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang
dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia
fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang
dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung
oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional
digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode
ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai
dengan fakta dari yang tidak.
Ada beberapa teori yang menjelaskan
tentang kebenaran, antara lain sebagai berikut:
1. The
correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar
itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa
yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
2. The
consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas,
tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa
kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu.
3. The
pragmatic theory of truth. Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa benar
tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada
berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya.
Dari
tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti
dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi
kehidupan manusia.
Sedangkan
nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh
Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran
mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin.
Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran
wahyu
2. Kebenaran
spekulatif filsafat
3. Kebenaran
positif ilmu pengetahuan
4. Kebenaran
pengetahuan biasa.
Pengetahuan
yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan
mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak
benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang
kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin
saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan.
Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.
Menurut
kajian epistemologi terdapat beberapa metode untuk memperoleh pengetahuan, diantaranya
adalah :
a. Metode
Empirisme
Menurut
paham empirisme, metode untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada pengalaman
yang bersifat empiris, yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat
kebenarannya melalui pengamalan indera manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan
bagaimana orang tahu es membeku? Jawab kaum empiris adalah karena saya
melihatnya (secara inderawi/panca indera), maka pengetahuan diperoleh melalui
perantaraan indera. Menurut John Locke (Bapak Empirisme Britania) berkata,
waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan
didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman indera. Akal
merupakan sejenis tempat penampungan, yang secara prinsip menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme
berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek yang merangsang alat inderawi,
kemudian menumbuhkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak,
sumber rangsangan sebagaimana adanya dan dibentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi ini. Kesimpulannya adalah
metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme adalah berdasarkan
pengalaman inderawi atau pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera
manusia.
b. Metode
Rasionalisme
Berbeda dengan
penganut empirisme, karena rasionalisme memandang bahwa metode untuk memperoleh
pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme menegasikan
nilai pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal
pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak
Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode deduktif
melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai :
- Sejenis
perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
- Suatu
teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
c. Metode
Fenomenalisme
Immanuel Kant
adalah filsuf Jerman abad XX yang melakukan kembali metode untuk memperoleh
pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David
Hume terhadap pandangan yang bersifat empiris dan rasionalisme. Menurut Kant,
metode untuk memperoleh pengetahuan tidaklah melalui pengalaman melainkan
ditumbuhkan dengan pengalaman-pengalaman empiris disamping pemikiran akal
rasionalisme. Syarat dasar bagi ilmu pengetahuan adalah bersifat umum dan
mutlak serta memberi pengetahuan yang baru. Menurutnya ada empat macam
pengetahuan :
1. Pengetahuan
analisis a priori yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap
unsur-unsur pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman, atau yang
ada sebelum pengalaman.
2. Pengetahuan
sintesis a priori, yaitu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan akal terhadap
bentuk-bentuk pengalamannya sendiri yang mempersatukan dan penggabungan dua hal
yang biasanya terpisah.
3. Pengetahuan
analitis a posteriori, yaitu pengetahuan yang terjadi sebagai akibat
pengalaman.
4. Pengetahuan
sintesis a posteriori yaitu pengetahuan sebagai hasil keadaan yang
mempersatukan dua akibat dari pengalaman yang berbeda.
Pengetahuan tentang gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang paling sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan pemikiran akal, jadi Kant mengakui dan memakai empirisme dan rasionalisme dalam metode fenomenologinya untuk memperoleh pengetahuan.
Pengetahuan tentang gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang paling sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan pemikiran akal, jadi Kant mengakui dan memakai empirisme dan rasionalisme dalam metode fenomenologinya untuk memperoleh pengetahuan.
d. Metode
Intuisionisme
Metode
intuisionisme adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan melalui intuisi
tentang kejadian sesuatu secara nisbi atau pengetahuan yang ada perantaraannya.
Menurut Henry Bergson, penganut intusionisme, intuisi adalah suatu sarana untuk
mengetahui suatu pengetahuan secara langsung. Metode intuisionisme adalah
metode untuk memperoleh pengetahuan dalam bentuk perbuatan yang pernah dialami
oleh manusia. Jadi penganut intuisionisme tidak menegaskan nilai pengalaman
inderawi yang bisa menghasilkan pengetahuan darinya. Maka intuisionisme hanya
mengatur bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.
e. Metode
Ilmiah
Pada metode
ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan dilakukan dengan cara menggabungkan
pengalaman dan akal pikiran sebagai pendekatan bersama dan dibentuk dengan
ilmu. Secara sederhana teori ilmiah harus memenuhi 2 syarat utama yaitu harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya dan harus cocok dengan fakta-fakta
empiris
Jadi logika
ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan induktif dimana
rasionalisme dan empirisme berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme
korektif. Metode ilmiah diawali dengan pengalaman-pengalaman dan dihubungkan
satu sama lain secara sistematis dengan fakta-fakta yang diamati secara
inderawi. Untuk memperoleh pengetahuan dengan metode ilmiah diajukan semua
penjelasan rasional yang statusnya hanyalah bersifat sementara yang disebut
hipotesis sebelum teruji kebenarannya secara empiris. Hipotesis, yaitu dugaan
atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi.
Untuk memperkuat
hipotesis dibutuhkan dua bahan-bahan bukti yaitu bahan-bahan keterangan yang
diketahui harus cocok dengan hipotesis tersebut dan hipotesis itu harus
meramalkan bahan-bahan yang dapat diamati yang memang demikian keadaannya. Pada
metode ilmiah dibutuhkan proses peramalan dengan deduksi. Deduksi pada
hakikatnya bersifat rasionalistis dengan mengambil premis-premis dari
pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Menurut AR Lacey
untuk menemukan kebenaran yang pertama kali dilakukan adalah menemukan
kebenaran dari masalah, melakukan pengamatan baik secara teori dan ekperimen
untuk menemukan kebenaran, falsification atau operasionalism (experimental
opetarion, operation research), konfirmasi kemungkinan untuk menemukan
kebenaran, Metode hipotetico – deduktif, Induksi dan presupposisi/teori untuk
menemukan kebenaran fakta
Kerangka
berpikir yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya
terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan
masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
2. Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mubgkin terdapat antara berbagai faktor yang saling
mengkait dan bentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun
secara rasional berdasrakan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. Perumusan
hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
4. Pengujian
hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis
yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan
kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu
di tolak atau diterima. Seandainya dalam pengujian terdapat fakta-fakta yang
cukup dan mendukung maka hipotesis tersebut akan diterima dan sebaliknya jika
tidak didukung fakta yang cukup maka hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang
diterima dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi
persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
D. Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science)
pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan
common sense, suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu
pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Ilmu merupakan
suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan
memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan
klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena dimulai dari fakta,
menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral.
Secara defenitif, logika dapat dipahami
sebagai studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang dipergunakan untuk
membedakan penalaran yang lurus dari penalaran yang tidak lurus. Arti lain dari
logika itu adalah pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir lurus. Jadi
logika itu berhubungan dengan kegiatan berpikir, namun bukan sekedar berpikir
sebagaimana merupakan kodrat rasional manusia sendiri, melainkan berpikir lurus
(E. Sumaryono, 1999:71). Dari defenisi itu jelas bahwa logika itu terkait
dengan “jalan berpikir” [metode], dan memuat sejumlah pengetahuan yang
sistematis dan berdasarkan pada hukum keilmuan sehingga orang dapat berpikir
dengan tepat, teratur dan lurus. Artinya, ber-logika berarti belajar menjadi
terampil. Karena itu kegiatan berlogika adalah suatu kegiatan yang bertujuan
untuk melatih skill berpikir seseorang.
Berfikir dan pengetahuan merupakan dua
hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit
berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat
dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan
yang sifatnya siklikal.
Gerak sirkuler antara berfikir dan
pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat
akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit
aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya
akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit,
namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya
dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu),
disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan
mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang
diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat,
oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat
dibagi ke dalam (1) Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa
(pengetahuan eksistensial); (2) Berfikir sistematis faktual tentang objek
tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu); (3) Berfikir radikal tentang
hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
Dari ketiga jenis berfikir tersebut,
cara berfikir yang sistematis merupakan cara untuk menghasilkan suatu
pengetahuan ilmiah.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar